Uncategorized

Marah

Salah satu sahabat saya berkata, ‘aku gak pernah lihat Ajeng marah.”

Serius, saya paling gak suka kalau lagi marah. Pernah. Tentu saya pernah marah. Tapi saat itu saat paling menyebalkan yang gak ingin saya ulangi. Sebisa mungkin saya selalu menahan marah yang hampir meledak. Kapan saya paling sering marah-marah? Lihat saja kalau saya sedang menyetir mobil. Marah saya bisa sampai di ubun-ubun. Terutama kalau melihat pengendara lain yang egois dan ugal-ugalan di jalan raya, tidak punya etika berkendara. Sekeren apapun mobil/motor yang mereka pakai, jatuh harga diri mereka di depan saya. Kegantengan atau kecantikan tampang gak ada artinya kalau gak punya etika berkendara. Semua langsung terlihat jelek. Saya juga. Ya karena marah-marah itu. Maka dari itu saya selalu sebal sama diri saya sendiri kalau marah-marah di jalan raya. Istigfar.. istigfar..

Akhlak itu sebagian dari iman. Dan di jalan raya pun Allah melihat selalu perilaku kita selama berkendara. Gak malu hey, marah-marah bahkan sampai merutuk dan memaki-maki orang lain? (ini nunjuk diri sendiri maksudnya). Tapi itu kan bahaya banget atuhlah. Kalau gak sayang nyawa sendiri, tolong sadar diri lah, kalau nyawa orang lain itu berharga.

Ah gak perlu lah kita bicara jauh-jauh tentang nyawa. Itu hak orang lain, tolong dihargai. Kalo di Jepang, orang-orang memang individualisnya tinggi, tapi yang namanya hak orang lain gak akan mereka ‘rebut’ karena pada dasarnya mereka gak ingin hal itu terjadi sama diri mereka sendiri. Islami banget kan? Hayo yang ngaku muslim, bukankah Rasul mengajarkan untuk memperlakukan saudara kita (orang lain) sebagaimana kita ingin diperlakukan. Termasuk salah satunya dalam hal etika berkendara. Miris rasanya melihat negara yang sebagian besar penduduknya tidak beragama (yang jelas), tapi sangat-sangat menjunjung tinggi etika dan moral.

Orang Jepang memang dikenal sebagai bangsa yang tingkat ‘malu’-nya tinggi. Masih ingat kan kalau di jaman dulu, para samurai dan tentara Jepang, bahkan melakukan harakiri (membunuh diri sendiri) kalau gagal dalam tugas, saking malu-nya. Di dunia yang lebih modern saat ini, orang Jepang sangat malu kalau melanggar peraturan, ‘mengambil’ hak orang lain, atau tidak becus menjalankan tanggung jawab yang dibebankan pada pundak mereka. Gimana dengan (sebagian besar) kita, bangsa Indonesia?

Setelah saya pikir-pikir, marah sama pengendara lain itu gak guna juga ya. Cuma menambah stress, menambah dosa diri sendiri, dan mengurangi energi positif. Kalau marahnya si saya bisa ngubah perilaku orang yang gak ada etika berkendara-nya itu ya lumayan lah, gak gitu rugi. Tapi kalau gak ada efeknya ke orang yang bersangkutan? Heuh… hanya Kau yang Kuasa Membolak-Balik hati ya Rabb.

Ya sudah. Begitu ya? Sampai di sini dulu curcolnya. Maaf saya gak bermaksud marah-marah di tulisan ini. Sesi curhat yang penting banget inih buat saya supaya hati lebih lega. Semoga. Semoga saya jadi lebih sabar juga. Aamiin.

Tinggalkan komentar