serpihan hikmah..., teladan kita

Abah yg berjiwa muda,,, (Rahardjo Ramelan)

”Waah, sungguh hari yang menyenangkan!!!”

Teriak hatiku kemarin malam.

Hari itu aku tak menyangka dapat bertemu sesosok pria yg sangat menginspirasi itu. Seseorang yg namanya beberapa kali disebut-sebut dalam sepekan ini, dalam forum rapat kami. Rahardjo Ramelan.

Kami rencananya akan meminjam rumah beliau untuk acara 30 harian kami pertengahan Desember nanti. Mendengar cerita dari teman yg pernah bertemu beliau, bahwa meski sudah berumur, tapi beliau berjiwa muda dan sangat sosial. Awalnya aku menanggapi setengah tak percaya. Untungnya aku ikut juga untuk bertemu beliau malam itu. Dan aku membuktikannya sendiri. Kesan pertama yg sungguh menyenangkan!

Pertama-tama kami disambut dgn desain rumah yg sangat unik. Tangga-tangga batu, gerbang-gerbang seperti pintu masuk pura (tempat peribadatan masyarakat hindu), pendopo dengan tiang-tiang kayu. Cahaya remang-remang yg ada menambah kesan mistis. ”Kata apa yg tepat menggambarkan indah dan seram?” kata Billy memecah senyap. Aku merasakan hal yg sama, ”spooky?” kataku sambil memandang sekeliling.

Mendapati bangunan utama rumah itu, penuh dengan barang-barang seni. Kursi kayu berukir, lukisan, meja kayu, miniatur sepeda tua, radio tua (yang tampaknya sdh tidak bisa berbunyi lagi). Lagi-lagi, cahaya remang-remang! Hiss, kenapa sedikit sekali penerangan di rumah ini yg berfungsi, batinku. Apakah seorang yg akan kami temui ini akan tampil dgn rambut gondrong, baju hitam-hitam, cincin dgn mata batu akik yg besar-besar, serta untaian kalung panjang di lehernya?? Misterius…

Dan akhirnya, tak berapa lama, kami dapati juga beliau. Ternyata tak seseram yg kubayangkan. Tampilan beliau sangat tidak sesuai dgn prasangkaku. Beliau malam itu mengenakan baju koko putih, topi haji putih, tak ada kalung panjang sedada, dan tak ada cincin batu akik. Yang benar hanya rambut beliau panjang, tapi digelung ke belakang di bawah topi haji putihnya. Abah, begitu beliau biasa dipanggil. Pernah melihat film Kabayan kan? Nah, bayangkan abah-nya Kabayan hadir di sana, malam itu. Wajahnya tersenyum. Bayangkan, benar2 seorang abah yg menemui anak2nya. Auranya menunjukkan demikian J.

Beliau menyambut kami dgn hangat. Sangat welcome. Beliau menanyakan setiap orang dari kami. Begitu memperhatikan jawaban2 kami dan menanggapinya dgn humor. Tak berapa lama, datang 2 orang lelaki mencari abah. Kami dikenalkan beliau dgn mereka. ”Dunia butuh tangan2 emas,” kata beliau sambil memberikan apresiasi pada 2 lelaki yg tampaknya mahasiswa ITB juga. Entah apa maksud abah, kami cuma bisa senyum-senyum. Selanjutnya kami mengobrol-ngobrol ringan. Kebanyakan abah yg berbicara, bertanya pd kami apa yg akan kami lakukan sesuai jurusan kami, menanggapi, memberi motivasi (untuk ’being different’, berdiri di atas kaki sendiri, dan mensyukuri bahwa ada orang2 yg membenci kita J. Justru bahaya kalau ada yg menyukai kita, begitu kata abah), diselilingi sekali-kali mencandai kami sembari mulut kami asyik mengunyah rambutan yg disuguhkan dalam sekotak kardus mie!

”Setiap yg datang ke sini belum bisa pulang kalau belum makan,” kata mbak Riozz. Awalnya aku gak mengerti maksudnya apa. Tapi setelah kami beranjak ke dapur, barulah aku tahu. Abah menghangatkan ketupat, menyuruh kami membuat minuman hangat sendiri. Mbak Riozz menyiapkan piring dan membuka bungkusan plastik berisi rendang daging, opor ayam, tahu goreng. Wah, kami makan besar malam itu. Semua tampak kaget, kecuali mbak Riozz yg sepertinya sudah terbiasa menghadapi abah dan Nina yg malam itu meringis sambil mengompres perutnya yg semakin sakit. Ia baru datang bulan hari pertama. ”Semakin cepat kita makan, semakin cepat kita pulang,” kata Billy yg langsung mengantri setelah mbak Riozz. Kasihan Nina….

Ternyata abah fans Afgan! Beliau bahkan bisa menyanyikan salah satu lagunya dgn percaya diri di hadapan Mbak Riozz, teh Novi, dan Billy yg memilih makan di teras depan kamar pribadi abah. Aku bergabung dgn mereka setelah abah selesai bernyanyi. Dari atas sana aku bisa melihat Bandung yg berkelap-kelip lampu rumahnya, bagai bintang di kejauhan. Indah…. Malam itu kami makan ketupat, opor ayam dan rendang ditemani suara Afgan yg asli dari komputer abah. Hmm, nikmat….

Jiwa sosial abah terbukti dgn beraninya abah mengunjungi Aceh paska Tsunami. Ada 10 keping CD yg merekam sepak terjang abah selama di Aceh dan malam itu beliau memperlihatkan salah satunya kepada kami. Beliau ke sana bersama rombongan membawa bahan makanan dan obat2an dengan resiko dihadang tentara yg curiga bahwa makanan yg dibawa ada potensi diracun. Dari atas truk, kata abah, ada tentara yg sudah bersiap-siap dgn senapan terhunus ke depan. Siap siaga memuntahkan pelurunya. Ah, bukan abah namanya kalo tidak melakukan sesuatu utk mereka yg butuh pertolongan. ”Apa artinya punya uang banyak, tapi gak melakukan apa2,” mungkin maksud beliau, terjun langsung ke lapangan. Berbekal selera humor dan skill komunikasi yg canggih, abah akhirnya berhasil melunakkan hati petinggi tentara dan masyarakat Aceh yg berada di barak2 pengungsi. ”Ibu-ibu di sana gak mau jauh2 dari saya,” kata abah menjelaskan ttg ibu-ibu yg selalu tampak di kamera, mengekor abah. Mereka sdh merasa abah adalah penyelamat mereka J.

Malam semakin larut. Kira-kira sudah jam 10an. Bukannya semakin membaik, sakit perut Nina makin parah. Akhirnya kami minta izin segera pulang. Sebelum pulang abah mengantar kami berkeliling sebentar melihat ruangan2 yg akan kami gunakan untuk acara nanti. Abah menunjukkan beberapa kamar, yg mungkin bisa kami gunakan sbg tempat tidur. Setelah itu sampailah saatnya pulang.

Seorang abah yg baik, tak akan membiarkan anak perempuannya pergi malam2. Begitu bukan? Dan abah membuktikan itu dgn mengantarkan kami semua pulang ke rumah masing-masing. Untungnya Nina masih bisa mengemudi. Jadilah kami berombongan, 2 mobil, meninggalkan rumah eksotik itu, nyaris tengah malam. Satu mobil berisi Nina, Billy, aku, dan Nana. Satu lagi dikemudikan abah dgn penumpang : mbak Riozz, teh novi, Handoko, Zaki.

Jalur pengantaran pertama, mobil abah di depan. Tujuan kami adalah mengantar mbak Riozz dan teh Novi ke kantor mbak Riozz yg terletak tak jauh dari sana. Setelah itu, mengantar Nina di jalan Jakarta. Mobil Nina berjalan di depan. Setelah sampai di depan rumah Nina, kami bertiga pindah ke mobil abah. Berurutan setelahnya : Billy dan aku diantarkan menuju Kebon Bibit, dan terakhir Nana, diantarkan abah sampai ke Sangkuriang.

Subhanallah… Terimakasih abah, utk kesan pertama yg sangat menyenangkan….

Aku perlu belajar banyak dari abah. Banyak sekali.

Dan satu hal yg aku lupa bilang malam itu : Abah, terimakasih untuk rambutannya ^^

rambutan

6 tanggapan untuk “Abah yg berjiwa muda,,, (Rahardjo Ramelan)”

  1. Sosok Abah yg inspiratif, mgk dia contoh org yg bisa being different,shg idealismenya ga lekang oleh waktu..

  2. iya bener…ngerpotin banget kita pake harus dianterin dari ujung berung ampe cijerah… melewati berbagai kondisi cuaca.
    heuheu…iya bener…abah bener2 berjiwa muda. ampe twilight aja diikutin. haha…

  3. hehe,, ampe KCB2 juga kita dibayarin gratis buat nonton bareng,, Abah emang baik banget,,
    oya, Innalillahi,, istri beliau beberapa waktu lalu wafat karena sakit,,, mari kota doakan semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT dan dhapuskan dosa2nya,,, aamiin
    dan semoga Abah tegar menghadapinya,, (pastinya ya Bah),, aamiin

  4. Saya! Memanggil abah ini dengan sebutan bapak..! Orangtua yg amat Ramah n ring an tangn.saat k Jakarta n bandung saya pasti berkunjung dirumah.. Bapak yg pecinta kuliner dimana saja…. Kangen saya gimana kabarx skarang da lama saya tidak dengar kabarx… Nomor x jg gk bisa dhubungi

Tinggalkan komentar